EMPAT PULUH KAIDAH – KAIDAH UMUM[1]
1)
اَْلإِجْتِهَادُ لاَيُنْقَضُ بِاْلإِجْتِهَادِ
“ Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang
kemudian “.
a)
Uraian Kaidah
Ijtihad dari segi bahasa berarti
sungguh – sungguh. Menurut Ulama Fikih, Ijtihad ialah mengerahkan segenap
kemampuan berfikir untuk mencari dan menetapkan hukum – hukum Syara’ dari dalil
– dalilnya yang terperinci ( tafshili ) . Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqih,
yaitu mengerahkan segenap kamampuan secara maksimal untuk mengistimbatkan (
menetapkan ) hokum atau untuk menetapkan hukum.
b)
Sumber Pengambilan
Maksud kaidah ini adalah suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak
berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama. Hasil
ijtihad yang lama masih tetap berlaku pada masa itu, dan hasil ijtihad yang
sekarang berlaku pada masa sekarang.
Dalam memuat kaidah ini, para ulama mengambil sumber dari ijma’ al-
sahabat. Seperti berdasarkan suatu peristiwa sejarah Abu Bakar ra. Yang pernah
memberikan keputusan hukum pada beberapa masalah yang kemudian dipersilihkan
oleh Umar ra. Tetapi beliau tidak membatalkan keputusan Abu Bakar ra.tersebut
dan tetap mengakuinya .
Seperti ketika memberikan sanksi kepada tawanan perang Badar Abu
bakar mangambil keputusan agar membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin
Khattab ra. Agar mereka mengambil tindakan keras yaitu dihabisi nyawanya.
Ijtihad Umar ra. Ini setelah mendapat penguat ( Dibenarkan ) wahyu, surat Al-
Anfal ayat 67 :
$tB c%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3t ÿ¼ã&s! 3uó r& 4Ó®Lym ÆÏ÷Wã Îû ÇÚöF{$# 4 crßÌè? uÚttã $u÷R9$# ª!$#ur ßÌã notÅzFy$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÏÐÈ
“ Tidak
patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
c)
Keputusan ( Ijtihad ) yang batal
Imam Subky, berpendapat bahwa
keputusan – keputusan hakim yang terang – terang batal dan harus diubah itu
meliputi : Keputusan yang menyimpang dari nash dan sharih, keputusan yang
menyimpang dari ijma’, keputusan yang menyimpang dari kaidah – kaidah kulliyah
dan keputusan yang tanpa disertai ( tidak ada dalilnya ).
2)
إِذَااجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الْحَرَامُ
“
Apabila halal dan haram berkumpul, maka dimenangkan yang haram “.
a)
Uraian Kaidah
Kaidah ini perumusannya oleh
segolongan ulama didasarkan pada sebuah hadist sebagai berikut :
مَااجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ اِلاَّغَلَبَ الْحَرَامُ
الْحَلاَلَ
“ Tidaklah berkumpul
halal dan haram, kecuali yang haram mengalahkan yang halal “.
Contoh dalam hal ini adalah Adanya
pertentangan yang terjadi dalam hadist yakni :
لَكَ مِنَ الْحَائِضِ مَافَوْقَ اْلإِزَارِ
“ Segala yang diatas kain
pinggang menjadi terkecuali persetubuhan haram “.
Dan Hadist Nabi SAW :
إِصْنَعُوْاكُلَّ شَيْئِ اِلاَّالنِّكَاحِ
“ Perbuatlah segala sesuatu ( terhadap istri yang haid ) kecuali
persetubuhan”.
Dalam hadist pertama, menunjukkan
bahwa haram hukumnya terhadap istri yang sedang haid, berbuat diantara pusat
dan lutut. Sedangkan hadist yang kedua, menunjukkan kebolehan berbuat segala
sesuatu terhadap istri yang sedang haid, kecuali bersetubuh. Maka dalam
menghadapi permasalahan seperti ini, dipilih yang kedua yaitu yang
mengharamkan, untuk lebih berhati – hati.
b)
Kaidah – kaidah Cabang
·
اِذَاتَعَارَضَ الْمَانِعُ وَالْمُقْتَضِ يُقَدِّ مُ الْمَانِعُ
“ Apabila saling bertentang ketentuan hukum yang mencegah dengan
yang menghendaki pelaksanaan suatu perbuatan, niscaya didahulukan yang
mencegah”.
·
اِذَااجْتَمَعَ فِى الْعِبَادَةِجَانِبُ الْحَضَرِ وَجَانِبُ السَّفَرِغُلِّبَ
جَاِنبُ الْحَضَرِ
“ Apabila dalam kaidah ini terkumpul segi hadlar ( tidak bepergian
) dan segi safar ( bepergian ), maka yang dimenangkan segi hadlar ( tidak
bepergian )”.
3)
اَْلإِيْثَارُفِى اْلقَرِبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهِ هَا مَحْبُوْبٌ
“
Mengutamakan orang lain dalam soal ibadah makruh dan selain ( ibadah ) itu
disukai”.
a)
Uraian Kaidah
Kaidah di atas memberikan pengertian
bahwa di dalam kaitannya dengan masalah ibadah maka ia tidak boleh mendahulukan
orang lain dan mengalahkan dirinya sendiri, seperti mendapatkan kesempatan
barisan pertama dalam shalat. Sebab dalam masalah beribadah adalah memuliakan
Tuhan. Jadi sekiranya seseorang mengutamakan ibadah kepada orang lain untuk
memuliakan Tuhan, sedangkan dirinya sendiri melalaikan- Nya. Padahal Tuhan
telah memerintahkan agar kita saling berlomba – lomba dalam menjalankan
kebajikan. Sebagaimana firman- Nya :
b)
Sumber Pengambilan
Kaidah dan contoh – contoh di atas didapatkan dari dalil – dalil
nash sebagai berikut :
crãÏO÷sãur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz
Artinya :” Dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan…... “ ( QS: Al-Hasyr: 9 ).
لايزال قوم يتأخرون عن الضف الأول حتى يؤخرهم الله فى النار ( رواه
ابو داود )
“ Senantiasa suatu kaum
memperlambatkan dari saf awal, sehingga Allah mengakhirkan mereka, dimasukkan dalam
neraka “. ( HR. Abu Dawud ).
Dengan jelas bahwa dalil – dalil di
atas menunjukkan tentang ketidakbolehan ( larangan ) meninggalkan dan
mempersilahkan orang lain dari pada dirinya sendiri dalam masalah ibadah.
Tetapi mengenai masalah keduniaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang – orang
Anshor terhadap kaum Muhajirin adalah lebih baik.
4)
اَلتَّابِعُ تَابِعٌ
“
Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti “[2].
Contoh dalam kaidah ini banyak
sekali, diantaranya : apabila seseorang membeli kambing, maka termasuk dalam
kambing tersebut kulitnya. Demikian juga, apabila kambingnya sedang bunting,
maka anak yang masih dikandungnya termasuk yang dibeli. Apabila shalat
berjamaah, maka makmum wajib mengikuti imam.
Kaidah – kaidah cabang :
اَلتَّابِعُ لاَيُفْرَدُبِالْحُكْمِ
“ Pengikut tidak dikenal hukum
tersendiri “.
اَلتَّابِعُ سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ
“ Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya
yang diikuti “.
اَلتَّابِعُ لاَيَتَقَّدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ
” Pengikut itu tidak
mendahului yang diikuti “
يُغْتَفَرُفِى التَّابِعُ لاَيُغْتَفَرُفِى غَيْرِهَا
“ Dapat dimaafkan pada
hal – hal yang mengikuti, apa tidak demikian halnya pada yang lainnya “.
5)
اَلتَّصَرُّفُ اْلِإمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلِحَةِ
“
Kebijaksanaan Imam ( Pemimipin ) terhadap rakyatnya itu harus dihubungkan
dengan kemaslahatan “.
a)
Uraian Kaidah
Kaidah ini memberikan pengertian,
bahwa seorang pemimpin dalam mengambil kebijaksanaan – kebijaksanaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan
rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip – prinsip syari’at Islam, sehingga
andaikata penguasa menetapkan seorang fasiq menjadi imam shalat pun, menurut hukum
tidak dibenarkan. Untuk itulah dalam masalah terakhir ini, Al-Mawardi berkata :
Meskipun shalat para makmum itu sah akan tetapi perbuatan tersebut makruh. Dan
pada perbuatan yang makruh tidak ada kemaslahatan.
b)
Sumber Pengambilan
Kaidah ini menurut para ulama berdasarkan
QS. Al- Baqarah : 124:
( tA$s% ÎoTÎ) y7è=Ïæ%y` Ĩ$¨Y=Ï9 $YB$tBÎ) ( tA$s% `ÏBur ÓÉLÍhè ( tA$s% w ãA$uZt Ïôgtã tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊËÍÈ
……Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang
yang zalim".
Dan
Sabda Nabi SAW :
كُلُّكُمْ رَاعِ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ( متفق عليه )
“ Kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap
pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya”. ( HR.
Bukhari – Muslim dari Ibnu Umar ).
6)
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبْهَاتِ
“
Hukum – hukuman ( had ) itu bisa gugur karena syubhat ( Ketidakjelasan )”.
Ada tiga macam
syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu pertama syubhat yang
berhubungan dengan pelaku ( Al –Fa’il ) yang disebabkan oleh salah sangkaan si
pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang ia kira adalah harta miliknya.
Kedua, syubhat karena perbedaan pendapat para ulama ( Fi-Aljihhah ) separti
Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi tapi harus ada wali. Imam Abu Hanifah
membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada saksi. Dan yang ketiga, syubhat
karena tempat ( Fi – Almahal ) seperti Mewhothi istri yang sedang haid.
Untuk menghindari
kesyubhatan sebagaimana tersebut diatas, maka penggunaan qiyas tidak
diperkenankan dalam hudud seperti kaidah berikut :
لاَيَجُوْزُإِِثْبَات ُالْحُدُوْدِ مِن طَرِيْقِ
الْقِيَاسِ وَإِنَّمَا طََرِيْقُ إِثِبَاتِهَا التَّوْقِيْفُ
“ Tidak boleh penetapan jarimah ( Tindak Pidana ) Hudud dengan cara
analogi, penetapannya harus dengan nash ".
Menurut kaidah ini, tidak boleh menyamakan tindak pidana, homo
seksual, atau lesbian dengan zina meskipun keduanya diharamkan oleh hukum
islam.
7)
اَلْحُرُّلَايَدْخُلُ تَحْتَ اْليَدِ
“
Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan ( kekuasaan )”.
Kaidah ini maksudnya adalah bahwa
bagi orang yang merdeka itu kedudukannya tidak dikuasai oleh pihak manapun,
sebab ia tidak ada yang memiliki. Lain lagi dengan hamba sahaya karena ia
berstatus hamba sahaya, maka dirinya kedudukannya di bawah tuannya. Dan berarti
pula ia bisa dimiliki oleh tuannya.
Seperti halnya saja ada seorang
perempuan yang berzina dengan budak perempuan yang merdeka, maka berdasarkan
kaidah ini, laki – laki yang menzinainya tidak dapat di tuntut membayar mas
kawin, karena orang yang merdeka tidak berada di bawah kekuasaan siapapun .
8)
اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمٌ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
“
Sesuatu untuk menjaga sesuatu itu hukumnya sama dengan yang dijaga “.
a)
Uraian Kaidah
Kaidah ini memberikan pengertian
bahwa semua perkara baik yang dihukumi dengan wajib, halal ataupun itu telah
ada batasan – batasannya. Tetapi selain itu yang syubhat yang perlu untuk dijaga
agar tidak terkena kepada yang haram.
Arti dari Al – harim ini bisa
diterjemahkan dengan “yang mengitari”, “ yang melingkupi “ atau “ yang ada
disekitarnya”. Dari sini dapat dipahami pula bahwa daerah perbatasan itu
disebut Harim, sebab tiap sesuatu itu mempunyai daerah perbatasan yang berada
disekitarnya.
b)
Dasar Pengambilan
الحلال بين والحرام بين وبينهماأمورمتشا بها ت لايعلمهن كثير من الناس
فمن التقى الشبهات فقداستبر ألدينه وعرضه ومن وقع فى الشبهات وقع فى الحرام
كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يقع فيه
“ Yang halal itu telah jelas dan yang haram
telah jelas dan diantara keduanya adalah masalah – masalah syubhat ( tidak
jelas ). Banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa yang menjaga
diri dari syubhat, berarti dia telah jatuh kepada keharaman, seperti seorang
pengembala yang mengembala di sekitar pagar dikhawatirkan akan melanggar (
masuk ) kedalam pagar “ ( HR. Muttafaq ‘Alaih ).
9)
اِذَااجْتَمَعَ اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ لَمْ يَخْتَلِفْ
مَقْصُوْ دُ هُمَا فِى اْلَا خَرِ غَالِبًا
“
Apabila berkumpul dua perkara dari satu jenis dan tidak berbeda maksud dari
keduanya, maka menurut biasanya dimasukkanlah yang satu kepada yang lain “.
Maksud dari kaidah ini adalah
manakala ada dua perkara dimana maksud dari keduanya sama, maka salah satu dari
kedua perkara tersebut yang dapat dimasukkan kepada yang lain. Artinya, cukup
dengan mengerjakan salah satu dari dua perkara yang dapat mencakup yang lain,
yaitu adanya perkara yang lebih besar, maka itu saja yang dikerjakan.
Misalnya adalah apabila berkumpul
antara hadast kecil dan hadast besar ( junub ), maka di cakupkan mandi saja.
10)
إِعْمَالُ اْلكَلاَمِ اَوْلَى مِنْ اَهْمَالِهِ
“ Mengamalkan ucapan itu lebih utama dari pada mengabaikannya “.
Sebuah ucapan
itu ada kalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas apa yang dimaksud sebenarnya
dari perkataan atau ucapan itu, Terhadap sesuatu yang jelas maksudnya, maka
haruslah diamalkannya sesuai dengan maksud itu. Namun, terhadap sesuatu yang
belum jelas maksudnya, maka mengamalkannya lebih baik daripada meniadakannya
atau mengabaikannya tetapi dengan catatan tidak adanya yang melanggar syara’.
Seperti
halnya.bagi seseorang yang sedang sakit keras, berwasiat, apabila nanti saya
mati, sawah dan pekarangan rumah saya ini berikan kepada anak saya. Namun,
orang ersebut hanya mempunyai cucu, karena anaknya telah meninggal, maka sawah
dan tanah pekarangan rumah itu menjadi milik dari cucunya.
11)
اَلْخَرَاجُ بِاالضَّمَانِ
“ Berhak mendapatkan sesuatu ( hasil ) disebabkan karena keharusan
mengganti kerugian “.
Kaidah ini
berasal dari hadist Nabi yang berbunyi “ Bahwa laki – laki menjual seorang
budak, maka budak itu bermukim ditempat pembeli, dalam beberapa hari, kemudian
sipembeli itu mendapatkan cacat pada budak tersebut, maka ia melaporkan kepada
Nabi SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki – laki yang menjual.”
Wahai Rasul ( ia pembeli ) telah mengerjakan ( mengambil manfaat ) terhadap
budakku”, Rasul bersabda : “ Hak mendapatkan hasil itu disebabkan keharusan
mengganti kerugian .
Sebagai contoh
: Seseorang yang membeli sepeda motor seharga Rp. 6.000.000,- dengan syarat
tidak ada cacatnya, dan bila ada yang cacat, maka boleh dikembalikan dan akan
menerima uangnya kembali. Tetapi, setelah beberapa hari, baru diketahui bahwa
sepeda motor itu cacat, maka sepeda motor tersebut dikembalikan kepada penjual
dan penjual mengembalikan seharga tersebut diatas, maka apabila waktu itu penjual
meminta ganti rugi kepada pembeli karena telah memekai sepeda motor tersebut,
maka tentu saja tuntutan tersebut tidak dapat dikabulkan, karena pemanfaatan
pemakaian sepeda motor tersebut sudah diimbangi dengan pemakaian uang 6 juta
yang sudah dibyarkan.
12)
اَلْخُُروْجُ مِنَ اْلخِلاَفِ مُسْتَحِبٌ
“ Keluar dari pertentangan itu di utamakan “
Maksud dari
kaidah diatas adalah agar menjauhi prasangka serta memelihara diri dari perkara
– perkara yang masih syubhat yang dipertentangkan oleh para ulama dengan jalan
mencari jalan keluar jangan melibatkan diri dari masalah khilafiyah.
Secara timbal
baliknya, maka oleh kaidah fikih disebutkan bahwa : “ Segala hukum berkisar
sekitar kemaslahatan. Dimana saja terdapat kemaslahatan, maka ( disitu )
terdapatlah hukum ALLAH”.
Walaupun sering
kali para ulama memahami suatu hukum, para ulama berbeda pendapat tetapi
perbedaan itu tidak menjadi perpecahan melainkan sebaliknya sebagai rahmat
baginya. Untuk itu para ulama mengatakan bahwa perbedaan itu adalah perbedaan
karena perbedaan keterangan dan alasan, Dan dipertegas pula jalan
penyelesaiannya dengan “ keluar dari perselisihan itu adalah yang terbaik
“.
Dan Syarat –
syarat dalam khilafiyah adalah :
Ø Tidak membuat
khilafiyah yang baru lagi
Ø Tidak
berlawanan dengan sunnah
Ø Mukhalifnya
harus mempunyai dalil yang kuat
13)
اَلدَّفْعُ اَقْوَى مِنَ الَّرفْعِ
“ Menolak gugatan itu lebih kuat dari pada menggugat (
menghilangkan )“.
Seringkali
dalam suatu perkara itu mengandung dua hal, yakni antara untuk menggugat atau
menetapkan dengan untuk menolak atau meniadakan yang masing – masing dari
keduanya mempun yai alasan yang sama kuat dan tidak data ditarjihkan dari
keduanya itu, maka dalam keadaan demikian, yang harus dipilih adalah
menolaknya.
14)
اَلرُّخَصُ لاَتُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“ Kemurahan ( rukhshoh ) itu tidak dapat dihubungkan dengan maksiat
“.
Maksud dari
kaidah ini adalah apabila ada hal kesukaran itu disebabkan karena hal – hal
yang membawa kepada perbuatan maksiat atau kemungkaran, maka kesukaran ( kesempitan
) itu tidak bisa diberi kemudahan ( rukhsah ).
Misalnya Shalat
qashar, jama’ dan berbuka puasa, kesemuanya itu merupakan keringanan bagi orang
yang dalam berpergian jauh. Tetapi kalau sejak awal, kepergian itu dengan niat
yang tidak baik atau untuk berbuat maksiat, maka rukhsah tersebut tidak berlaku
lagi.
15)
اَلرُّخَصُ بِا الشَّكِّ
“ Kemurahan ( rukhshah ) ini tidak bisa dihubungkan dengan keragu –
raguan ( syak )”.
Kaidah di atas
merupakan juga kaidah yang membatasi ruang kebolehan adanya rukhsah apabila ada
kesukaran ( maqasah ). Yakni ketidakbolehan mendapatkan rukhsah apabila
dihubungkan dengan sesuatu yang masih belum jelas ( samar – samar ).
Misalnya ada
seseorang yang pergi ke rumah kakeknya di sebuah kota yang jaraknya tidak
begitu jauh. Atau dengan kata lain belum mencapai batas jarak yang
membolehkannya menjama’ dam mengqashar shalat. Tetapi rumah kakekn ya itu tidak
di dalam kota, yaitu masih masuk lagi kepedalaman. Sehingga tersebut menjadi
adanya sangsi, adakah jarak antara tempat tinggalnya dengan kota tujuan semula
ditambah jarak antara kota itu dengan rumah kakeknya, sudah mencapai batas
diperbolehkannya menjama’ qashar ataukah belum ? Maka disebabkannya karena ada
keraguan, ia tidak boleh melakukan jama’ qashar ini.
16)
اَلرِّضَابِاالشَّيْئِ رِضَابِمَا يَتَوَلَّدُمِنْهُ
“ Rela dengan sesuatu adalah rela dengan akibat yeng terjadi dari
padanya”.
Contohnya :
orang yang menggadaikan barangnya sebagai jaminan hutangnya telah mengizinkannya
dengan setulus – tulusnya kepada penggadai untuk memanfaatkannya, kemudian
ternyata bahwa barang yang digadaikannya itu menjadi rusak , maka sipenggadai tidak
harus menanggung kerugiannya. Sebab kerusakan tersebut dari suatu perbuatan
yang telah diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang.
17)
َاَلسُّؤَالِ مُعَادٌفِى الْجَوَابِ
” Pertanyaan itu di ulang dengan jawaban “.
Maksudnya
kaidah ini adalah bahwa hokum dari suatu jawaban itu terletak pada soalnya. Contoh
: Seorang hakim bertanya kepada seseorang, Reno!, apakah istrimu kamu ceraikan
?” Lalu ia menjawab: “ Ya “. Jawaban “ Ya “ ini sama dengan : “ Ya, istriku
saya ceraikan “, sebab pertanyaan itu diulang dalam jawaban. Maka dalam keadaan
ini kedudukan hukum terhadap istri sebagai wanita yang telah ditalak (
diceraikan ).
18)
لاَيُنْسَبُ إِلَى سَاكِتٍ قَوْلٍ
“ Yang diam tidak dapat dianggap bicara “.
Redaksi kaidah
seperti tersebut diatas, adalah :
لاينسب إلى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة
“ Tidaklah
dapat disandarkan sesuatu perkataan kepada orang yang diam, akan tetapi sikap
diam pada tempat yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan “.
Kepada orang yang diam, suatu keputusan hokum tidak bisa diambil
darinya, kecuali apabila ada qarinah – qarinah yang dadpat menguatkannya, dapat
dijadikan dalil adanya suatu keterangan.
Misalnya
seorang hakim yang meminta jawaban kepada seorang terdakwa tentang tuduhan yang
dilemparkan kepadanya dan dia diam saja, maka dengan diamnya ini dapat
ditetapkan, bahwa ia mengingkari tuduhan itu dan kepada si penggugat diwajibkan
mendatangkan bukti – bukti yang meyakinkan.
19)
مَاكَامَ أَكْثَرُفِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً
“ Apa yang lebih banyak dikerjakannya, tentulah lebih banyak
keutamaannya ( pahalanya )”.
Kaidah ini
terbatas pada hal – hal yang merupakan kebaikan, sebab tidak mungkin pada suatu
kejahatan itu akan mendapatkannya, justru sebaliknya, makin banyak perbuatannya
makin banyak dosanya. Selain itu juga terbatas oleh perbuatan – perbuatan yang
memenag sudah ditetapkan ( diatur ) oleh syara’ dan tidak menyalahi dari
ketetatap itu.
Contohnya
adalah melaksanakan sembahyang witir dengan memisah – misahkan lebih utama
daripada dengan secara bersambung, karena dengan memisah – misahkan berarti
memperbanyak nilai takbir dan salam. Kaidah ini bermula dari sabda Rasulullah
SAW, kepada beliau Aisyah ra. Yang berbunyi : “ Pahalamu itu didasarkan atas
kadar kelelahanmu”. ( HR. Muslim).
20)
اَلْمُتَعَدِّى اَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ
“ Perbuatan yang mencakup kepentingan ornag lain lebih utama dari
pada yang hanya terbatas untuk kepentingan sendiri “.
Maksudnya
kaidah diatas adalah bahwa suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan
yang dapat mencakup kepada orang lain yang dapat mencakup kepada ornag lain,
yakni dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain yakni berupa ilmu.
21)
اَلْفَرْضُ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ
“ Fardhu itu lebih utama daripada Sunnah “.
Kaidah ini didasarkan
pada sabda Rasulullah SAW :
“ Tidaklah
seorang hambaku bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada-Ku yang lebih aku
sukai, kecuali melaksanakan apa yang telah aku fardhukan kepadanya, dan tidak
henti – hentinya hamba-Ku mendekatkan diri pada-Ku dengan melaksanakan ibadah –
ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya “.( HR. Bukhari dari Abu Hurairah ).
Contohnya
adalah : Seseorang yang masih mempunyai tanggungan mengqadha puasa Ramadhan,
kemudian ia melakukan puasa bulan Syawal dengan niatan puasa sunnah, maka yang
lebih utama dan lebih baik adalah melaksanakan qadhapuasa bulan Ramadhan
terlebih dahulu daripada puasa Syawalnya, sebab yang lebih penting adalah
mengqadha puasa yang wajib ( puasa Ramadhan )”.
22)
اَلْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِدَاتِ الْعِبَادَةِ اَوْلَى مِنَ
الْمُتَعَلِّقَةِ بِمِكَانِهَا
“ Keutamaan yang dipautkan dengan ibadah sendiri lebih baik
daripada yang dipautkan dengan tempatnya”.
Menurut
Pensyarah kitab Al-Muhadzdzab berkata: “ Dijelaskan oleh golongan kami (
Syafi’iyah ), kakidah ini sangant penting dan hal ini difahamkan dari ulama
- ulama yang terdahulu”.Misalnya adalah
Shalat fardhu dimasjid lebih utama daripada di luar masjid, shalat berjamaah
lebih utama daripada shalat di masjid sendirian.
23)
اَلْوَاجِبُ لاَيُتْرَكُ إِلاَلِوَاجِبِ
“ Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu
yang wajib”.
Misalnya adalah
: hokum memotong tangan dalam pidana pencurian itu adalah wajib ( QS. Al-
Maidah ). Sebab seandainya saja tidak diwajibkan, niscaya melakukan memotong
tangan itu diharamkan karena perbuatan itu merupakan tindak pidana melukaki
anggota tubuh[3].
Kaidah – kaidah
cabangnya adalah :
§
الواجب لايترك لسنة
“ Sesuatu yang
wajib tidak dapat ditinggalkan karena sunnah “.
§
ماكان ممنوعا اذاجازوا جب
“ Sesuatu yang
dilarang, tatkala diperbolehkan, maka menjadi wajib “.
§
مالابدمنه لايترك الا لما لابد منه
“ Sesuatu yang
menjadi keharusan, tidak boleh ditinggalkan, kecuali karena sesuatu keharusan
“.
24)
مَااَوْجَبَا اَعْظَمَ اْلاَمْرَيْنِ بِخُصُوْصِهِ لاَيُوْجِبَ اَهْوَ
نَهُمَابِعُمُوْمِهِ
“ Sesuatu yang diwajibkan yang lebih besar dari dua perkara, Karena
kekhususannya, tiadalah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya karena
keumumannya”.
Maksud dari
kaidah ini adalah adanya dua perkara yang saling berlainan dalam melahirkan
suatu hukum. Yang satu merupakan perkara – perkara yang umum, akan melahirkan hukum
yang lebih ringan, sedangkan perkara yang lainnya bersifat khusus akan
melahirkan hukum yang lebih berat bila dibanding yang pertama.
Misalnya
memasuki rumah – rumah orang lain tanpa izin, dilarang dan dapat dituntut,
walaupun hukumnya ringan. Tetapi apabila orang yang memasuki rumah itu kemudian
mencuri, maka yang dituntut untuk mendapat hukuman hanyalah dalam hal
mencurinya saja. Sedangkan masuknya kerumah orang lain tanpa izin, tidaklah
dituntut. Karena memasuki rumah tanpa izin bersifat umum dan hukumannya
relative lebih ringan, tetapi apabila untuk mencuri, berarti sudah bersifat
khusus dan hukumannya relative lebih berat[4].
25)
مَاثَبَتَ بِاالشَّرْعِ مُقَدّمٌ عَلَى مَاوَجَبَ بِالشَّرْطِ
“ Apa yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan dari pada
wajib menurut syara’ “ .
Maksudnya
disini adalah semua ketetapan yang ada dalam syara’ itu harus diutamakan
daripada Undang – Undang yang dibuat oleh manusia. Misalnya seorang bernazar
apabila ia sukses dalam ujiannya, maka ia akan mengerjakan shalat shubuh.
Bernadzar seperti ini tidak diperkenankan, sebab mengerjakan shalat shubuh itu
merupakan suatu kewajiban yang memang harus dikerjakan, dalam hal ini adalah
ketentuan dari syara’, yang diutamakan bukan mengerjakan karena terpenihi
syarat – syarat yang ia buat.
26)
مَاحُرِمَ اسْتِعْمَالُهُ حُرِمَ اتِّخَاذُهُ
“ Apa yang haram digunakan, haram pula didapatkannya” .
Contohnya membuat,
membawakan, dan membeli khamr dilarang ( diharamkan ), sebab khamr bila
digunakan ( diminum ) haram hukumnya.
27)
مَاحُرِمَ أَخْذُهُ حُرِمَ إِعْطَاؤُهُ
“ Apa yang diambilnya haram, di haramkan pula untuk diberikannya”.
Kaidah ini berdasarkan pada firman Allah SWT Al- Maidah : 2;
( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 ÇËÈ
Artinya : “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran”.
Dari kaidah
tersebut dapat kita pahami bahwa mengambil sesuatu yang diharamkan, lalu
hasilnya kita berikan kepada orang lain itu dapat diibaratkan bersekutu
dengannya. Seperti contohnya diharamkannya memberikan uang hasil perjudian,
uang hasil suap dan segala perbuatan yang fasiq.
28)
اَلْمَشْغُوْلُ لاَيَشْغَلُ
“ Sesuatu yang dijadikan objek perbuatan tertentu, tidak boleh
dijadikan objek tertentu yang lain “.
Terhadap
sesuatu yang sedang dijadikan objek dari suatu akad, tidak boleh dijadikan
objek dari suatu akad yang lain, karena ia telah terikat dengan akad yang
pertama .
Contoh :
Membeli barang – babrang yang sudah dibeli oleh orang, kemudian dijual kepada
ornag yang lainnya, Meminang perempuan yang sudah menjadi pinangan dari laki –
laki lain.
29)
اَلْمُكَبََّرُلاَيُكَبَّرُ
“ Yang sudah dibesarkan, tidak dibesarkan ( lagi )”.
Contohnya :
Membasuh sesuatu dari kotoran atau najis disunnhakan mengulang – ngulang tiga
kali. Namun, apabila kotaran atau najis itu adalah najis ( jilatan ) anjing,
maka tidak disunnahkan lagi mengulangi tiga kali, sebab suah diperbesarkan dengan
diharuskan mengulangi tujuh kali dengan air pertama hendaknya dicampur dengan
debu.
30)
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًاقَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“ Barang siapa yang
tergesa – gesa terhadap sesuatu yang belum waktunya, akibatnya ( ia )
menanggung dengan tidak memperoleh sesuatu itu”.
Maksudnya
disini adalah ini merupakan suatu kaidah yang tergolong dalam lingkup Siyasah
Syari’ah dalam mencegah sebuah kejahatan atau sebagai penutup jalan bagi
kemungkinan terjadinya suatu kejahatan, Contoh : Bahwa arak yang ada dalam
botol apabila didiamkan saja, maka beberapa hari kemudian akan menjadi cuka
dengan sendirinya dan hukumnya suci. Namun, apabila orang tergesa – gesa ingin
mendapatkan cuka, kemudian arak itu dimasuki benda kerikil ( misalnya )
meskipun seandainya arak itu bisa menjadi cuka, maka tetap saja najis hukumnya.
31)
اَلنَّفْلُ أَوْسَعُ مِنَ اْلفَرْضِ
“ Sunnah lebih luas daripada
fardhu “.
Misalnya
menjalankan puasa sunnah boleh diniati dipagi hari, namun puasa fardhu harus
diniati sejak malam harinya. Namun, perlu juga diperhatikan, kadang – kadang
ada sunnah yang lebih sempit daripada fardhu, misalnya adalah Tayamum hanya
boleh dilakukan karena akan menjalankan shalat fardhu, tetapi tidak boleh
dilakukan untuk mengerjakan shalat sunnah.
32)
اَلْوِلاَيَةُالْخَاصَّةُ اَقْوَى مِنَ الْوَلاَيَةِ اْلعَامَّةِ
“ Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang umum “.
Contoh yang
memiliki kekuasaan khusus umpamanya seperti kakek dan bapak, sedangkan yang
mempunyai wilayah umum misalnya hakim. Jadi, selama bapak atau kakek masih ada,
hakim tidak dapat bertindak sebagai wali nikah, kecuali seizin mereka.
Tingkatan kekuasaan,
ada empat , yaitu ( 1 ) Wilayah karena hubungan kekerabatan, seperti bapak atau
kakek, ( 2 ) Wilayah wakil, yakni kekuasaan karena menjadi wakil. Wilayahnya
ditetapkan oleh Muwakkil ( yang mewakilkan ), ( 3 ) Wilayah Washiy, yaitu
menjadi wali, karena menerima wasiat, ( 4 ) Wilayah wakaf .
33)
لاَعِبْرَةَ بِالظِّنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُهُ
“ Tidak dapat diterima sesuatu yang didasarkan pada dhan ( sangkaan
) yang jelas salahnya “.
Maksud kaidah
ini adalah bahwa segala keputusan hokum yang didasarkan pada dhan ( sangkaan
)yang sudah jelas – jelas salahnya, maka tidak dapat dijadikan dasar sebabgai
pelaksanaan atau tidak boleh dikerjakan.
Contohnya
adalah : seseorang yang menduga keras, bahwa shalat itu sudah masuk dhuhur,
maka ia kemudian melaksanakan shalat dhuhur. Sesudah selesai mengerjakan shalat
dhuhur, ternyata dugaannya keliru, maka shalat yang baru saja dikerjakannya
tidak sah
34)
اَلْاِشْتِغَاِل بِغَيْرِالْمَقْصُوْدِ إِعْرَضُ عَنِ الْمَقْصُوْدِ
“ Berbuat yang tidak dimaksud berarti berpaliang dari yang
dimamksud “.
Kaidah ini merupakan cabang daripada kaidah الاموربمقاصدها atau
merupakan penjelasan bagi kaidah tersebut.Menurut kaidah itu, bahwa suatu
perbuatan yang dikerjakan tanpa suatu maksud tetrtentu, maka terhadapnya (
perbuatannya ) itu tidak dapat dihukumkan kepada maksud tertentu.
Contohnya : ada
seseorang bersumpah: “ Demi Allah saya tidak akan menetap dan diam di rumah
ini”. Mestinya ia harus segera keluar dari rumah itu, sebab yang menjadi maksud
ucapannya adalah “ keluar “ ( rumah ). Apabila ia tidak segera keluar dari
rumah itu, maka ia telah berpaling dari maksud dan menurut hokum, dan ia
dianggap telah melanggar sumpah.
35)
لاَيُنْكَرُالْمُخْتَلَفَ فِيْهِ وَاِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“ Masalah yang masih diperselisihkan, tidak diingkari, sedangkan
yang diingkari adalah yang telah disepakati “.
Maksud disini
adalah bahwa segala masalah yang telah menjadi kesepakatan atau tidak ada
ikhtilaf didalamnya, tentang sesuatu hokum haram.Misalnya, maka harus kita
jauhi benar – benar. Sedangkan masalah yang masih ikhtilaf kita tidak wajib
ingkar kepadanya.
Misalnya :
Terhadap orang yang minum arak ( khamr ) atau bberzina, kita wajib ingkar,
tetapi terhadap orang yang menyemir rambutnya, kita wajib tidak ingkar, sebab
masalah ini masih terdapat perselisihan.
36)
يَدْخُلُ الْقَوِيُّ عَلَى الضَّعِيْفِ وَلاَ عَكْسِ
“ Yang kuat dapat mencakup yang lemah, dan bukan sebaliknya “.
Maksudnya :
setiap tuntutan, baik tuntutan mengerjakan ataupun tuntutan meninggalkan, maka
tuntutan yang kuat itu sebenarnya telah mencakup atas tuntutan yang lebih
lemah, dan tuntutan yang lebih lemah tidak mencakup tuntutan yang lebih kuat.
Misalnya : Seorang
laki – laki telah menggauli budak perempuan, kemudian ia kawin dengan saudara
perempuan jariyah tersebut, Menurut hokum jariyah tersebut tidak boleh lagi
digaulinya, karena hubungannya dengan saudara jariyah itu lebih kuat, yaitu
ikatan perkawinan. Dengan demikian juga boleh menjalankan ibadah haji sekaligus
‘Umrah, namun tidak boleh melakukan ‘Umrah sekaligus Haji.
37)
يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فِى الْمَقَاصِدِ
“ Dapat dilampaui ( sesuatu
yang pada waktu ) manjadi sarana, namun tidak dapat diampuni sesuatu
yang ketika itu menjadi tujuan “.
Secara jelas
maksud kaidah ini, bahwa segala sesuatu yang pada waktu atau berkedudukan
sebagai saran untuk mencapai sebuah tujuan, maka dapat dimaafkan atau
dilonggarkan dengan menghilangkan atau mennguranginya. Namun, ketika hal itu
menjadi tujuan, maka baginya tidak ada kelonggaran dan harus dipenuhi.
Misal : Seorang
dokter boleh melukai atau membedah tubuh pasiennya apabila hal itu sebagai washilah
( perantaraan ) penyembuhan penyakitbagi pasien. Tetapi apabila ada maksud lain
yang tidak baik, maka itu tidak dibolehkan ( diharamkan ).
38)
اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
“ Sesuatu perbuatan yang mudah dikerjakan tidak digugurkan sebab adanya
perbuatan yang sukar untuk dijalankan”.
Menurut Ibn As-
Subky, kkaidah ini diambil dari Hadist Nabi SAW :
اِذَأَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاءْ تُوْمِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ
“ Manakala
kuperintahkan kalian dengan suatu perkara, maka laksanakanlah sebisa kalian “.
Kaidah ini
sangat sejalan dengan prinsip – prinsip Islam terutama dalam Al- Qur’an maupun
dalam Hadist yang menyatakan setiap pelaksanaan syara’ hendaklah dikerjakan
menurut kemampuan si Mukallaf. Tidaklah apa yang mudah dilaksanankan itu akan menjadi
gugur dengan sesuatu yang benar – benar sukar untuk mencapainya, atau dengan
pendek kata apa yang dapat dicapai menurut batas maksimal kemampuannya
dipandang sebagai perbuatan hukum yang sah.
Contohnya :
Orang yang baru bisa membaca AL- Fatihah separuh, dalam shalat haruslah membaca
apa yang dia bisa. Begitu juga orang yang hanya memiliki satu tangan, maka
dalam wudhu ia harus membasuh apa adanya, yaitu satu lengan yang dimilikinya.
39)
مَالاَيَقْبَلُ التَّبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُبَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِّهِ
وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِ سْقَاطِ كُلِّهِ
“ Sesuatu
yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagian ( hukumnya ) sama dengan
mengusahakan keseluruhan, demikian juga menggugurkan sebagian berarti
menggugurkan pula keseluruhan “.
Maksud dari kaidah
ini adalah bahwa segala perbuatan atau pelaksanaan sesuatu yang memang
tidak dapat dibagi – bagi, maka dalam pelaksanaannya pun harus menyeluruh,
tidak hanya sepotong – potong saja. Begitu juga sebaliknya, Jika mengugurkan
sebagian, mak menggugurkan semuanya.
Contoh : “
Engkau kucerai separuh “. Karena thalak itu tidak bisa dibagi, maka menurut
hukum islam, thalaqnya jatuh satu. Memilih sebagian sama dengan memilih
seluruhnya”.
40)
اِذَااجْتَمَعَ السَّبَبُ اَوِالْغُرُوْرُوَالْمُبَا شَرَةُ قُدِّمَتْ اَلْمُبَاشَرَةُ
“ Apabila berkumpul antara sebab, kicuhan ( tipuan ) dan pelaksanaan,
maka pelaksanaan didahulukan “.
Maksud kaidah ini : suatu kasus itu
terdapat tiga factor : ( 1 ) Merupakan sebab terjadinya kasus, ( 2 )
Berwujudnya penipuan yang membantu terjadinya kasus, ( 3 ) Perbuatan langsung
yang mengakibatkan kasus, maka yang pertama kali dimintai pertanggungjawaban
adalah perbuatan yang langsung menimbulkan kasus.
Contoh : Ahmad menjual sebilah pisau
kepada budi, kemudian oleh Budi pisau itu digunakan membunuh. Dalam contoh ini,
yang terkena tuntutan ( hukuman ) adalah Budi, sebab dialah pelaksana
pembunuhan, meskipun yang menjadi sebab dia dapat membunuh adalah Ahmad yang
menjual pisau kepadanya. Untuk contoh ini Ahmad tidak bisa dituntut sebab ia
adalah pedagang biasa, namun bila ia memang pedagang pisau untuk pembunuhan
juga bisa dituntut.
[1] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyyah, ( Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2001 ), cet. 1, h. 105
[2] H. Djazuli, Kaidah – kaidah Fikih , (Jakarta : Kencana, 2007
), C. 2, h. 92
[3] Selain itu, seperti halnya diharamkan kepada kita tentang mebelah
perut. Sebab perut itu wajib dijaga jangan sampai terbedah.
[4] Firman Allah SWT : Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, maka potonglah tangan keduanya ( sebagai ) pembalasan apa ynag mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”.
Telaten, bagus.... bisa dipercantik blognya dengan memilih tema lain dan melengkapi dengan laman/pages...
BalasHapusijin copy yaaa?
hehee,,,, terimakasih sarannya pakk,,, monggo....
Hapus