Jumat, 23 November 2012

Qawa'idul Fiqiyyah


EMPAT PULUH KAIDAH – KAIDAH UMUM[1]

1)    اَْلإِجْتِهَادُ لاَيُنْقَضُ بِاْلإِجْتِهَادِ                    
“ Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian “.

a)   Uraian Kaidah
Ijtihad dari segi bahasa berarti sungguh – sungguh. Menurut Ulama Fikih, Ijtihad ialah mengerahkan segenap kemampuan berfikir untuk mencari dan menetapkan hukum – hukum Syara’ dari dalil – dalilnya yang terperinci ( tafshili ) . Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqih, yaitu mengerahkan segenap kamampuan secara maksimal untuk mengistimbatkan ( menetapkan ) hokum atau untuk menetapkan hukum.
b)  Sumber Pengambilan
Maksud kaidah ini adalah suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama. Hasil ijtihad yang lama masih tetap berlaku pada masa itu, dan hasil ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang.
Dalam memuat kaidah ini, para ulama mengambil sumber dari ijma’ al- sahabat. Seperti berdasarkan suatu peristiwa sejarah Abu Bakar ra. Yang pernah memberikan keputusan hukum pada beberapa masalah yang kemudian dipersilihkan oleh Umar ra. Tetapi beliau tidak membatalkan keputusan Abu Bakar ra.tersebut dan tetap mengakuinya .
Seperti ketika memberikan sanksi kepada tawanan perang Badar Abu bakar mangambil keputusan agar membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab ra. Agar mereka mengambil tindakan keras yaitu dihabisi nyawanya. Ijtihad Umar ra. Ini setelah mendapat penguat ( Dibenarkan ) wahyu, surat Al- Anfal ayat 67 :
$tB šc%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3tƒ ÿ¼ã&s! 3uŽó r& 4Ó®Lym šÆÏ÷WムÎû ÇÚöF{$# 4 šcr߃̍è? uÚttã $u÷R9$# ª!$#ur ߃̍ムnotÅzFy$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÏÐÈ  
“ Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

c)      Keputusan ( Ijtihad ) yang batal
Imam Subky, berpendapat bahwa keputusan – keputusan hakim yang terang – terang batal dan harus diubah itu meliputi : Keputusan yang menyimpang dari nash dan sharih, keputusan yang menyimpang dari ijma’, keputusan yang menyimpang dari kaidah – kaidah kulliyah dan keputusan yang tanpa disertai ( tidak ada dalilnya ).

2)   إِذَااجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الْحَرَامُ
“ Apabila halal dan haram berkumpul, maka dimenangkan yang haram “.


a)      Uraian Kaidah
Kaidah ini perumusannya oleh segolongan ulama didasarkan pada sebuah hadist sebagai berikut :
مَااجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ اِلاَّغَلَبَ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ
“ Tidaklah berkumpul halal dan haram, kecuali yang haram mengalahkan yang halal “.
Contoh dalam hal ini adalah Adanya pertentangan yang terjadi dalam hadist yakni :
لَكَ مِنَ الْحَائِضِ مَافَوْقَ اْلإِزَارِ
“ Segala yang diatas kain pinggang menjadi terkecuali persetubuhan haram “.
Dan Hadist Nabi SAW :
إِصْنَعُوْاكُلَّ شَيْئِ اِلاَّالنِّكَاحِ
Perbuatlah segala sesuatu ( terhadap istri yang haid ) kecuali persetubuhan”.
Dalam hadist pertama, menunjukkan bahwa haram hukumnya terhadap istri yang sedang haid, berbuat diantara pusat dan lutut. Sedangkan hadist yang kedua, menunjukkan kebolehan berbuat segala sesuatu terhadap istri yang sedang haid, kecuali bersetubuh. Maka dalam menghadapi permasalahan seperti ini, dipilih yang kedua yaitu yang mengharamkan, untuk lebih berhati – hati.
b)     Kaidah – kaidah Cabang
·        اِذَاتَعَارَضَ الْمَانِعُ وَالْمُقْتَضِ يُقَدِّ مُ الْمَانِعُ
“ Apabila saling bertentang ketentuan hukum yang mencegah dengan yang menghendaki pelaksanaan suatu perbuatan, niscaya didahulukan yang mencegah”.

·        اِذَااجْتَمَعَ فِى الْعِبَادَةِجَانِبُ الْحَضَرِ وَجَانِبُ السَّفَرِغُلِّبَ جَاِنبُ الْحَضَرِ
“ Apabila dalam kaidah ini terkumpul segi hadlar ( tidak bepergian ) dan segi safar ( bepergian ), maka yang dimenangkan segi hadlar ( tidak bepergian )”.

3)   اَْلإِيْثَارُفِى اْلقَرِبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهِ هَا مَحْبُوْبٌ
“ Mengutamakan orang lain dalam soal ibadah makruh dan selain ( ibadah ) itu disukai”.

a)      Uraian Kaidah
Kaidah di atas memberikan pengertian bahwa di dalam kaitannya dengan masalah ibadah maka ia tidak boleh mendahulukan orang lain dan mengalahkan dirinya sendiri, seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam shalat. Sebab dalam masalah beribadah adalah memuliakan Tuhan. Jadi sekiranya seseorang mengutamakan ibadah kepada orang lain untuk memuliakan Tuhan, sedangkan dirinya sendiri melalaikan- Nya. Padahal Tuhan telah memerintahkan agar kita saling berlomba – lomba dalam menjalankan kebajikan. Sebagaimana firman- Nya :
b)     Sumber Pengambilan
Kaidah dan contoh – contoh di atas didapatkan dari dalil – dalil nash sebagai berikut :
šcrãÏO÷sãƒur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz
Artinya :” Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…... “ ( QS: Al-Hasyr: 9 ).
لايزال قوم يتأخرون عن الضف الأول حتى يؤخرهم الله فى النار ( رواه ابو داود )
“ Senantiasa suatu kaum memperlambatkan dari saf awal, sehingga Allah mengakhirkan mereka, dimasukkan dalam neraka “. ( HR. Abu Dawud ).
Dengan jelas bahwa dalil – dalil di atas menunjukkan tentang ketidakbolehan ( larangan ) meninggalkan dan mempersilahkan orang lain dari pada dirinya sendiri dalam masalah ibadah. Tetapi mengenai masalah keduniaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang – orang Anshor terhadap kaum Muhajirin adalah lebih baik.

4)   اَلتَّابِعُ تَابِعٌ  
“ Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti “[2].
Contoh dalam kaidah ini banyak sekali, diantaranya : apabila seseorang membeli kambing, maka termasuk dalam kambing tersebut kulitnya. Demikian juga, apabila kambingnya sedang bunting, maka anak yang masih dikandungnya termasuk yang dibeli. Apabila shalat berjamaah, maka makmum wajib mengikuti imam.
Kaidah – kaidah cabang :
اَلتَّابِعُ لاَيُفْرَدُبِالْحُكْمِ
“ Pengikut tidak dikenal hukum tersendiri “.
اَلتَّابِعُ سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ
“ Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti “.
اَلتَّابِعُ لاَيَتَقَّدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ
” Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti “
يُغْتَفَرُفِى التَّابِعُ لاَيُغْتَفَرُفِى غَيْرِهَا
“ Dapat dimaafkan pada hal – hal yang mengikuti, apa tidak demikian halnya pada yang lainnya “.

5)   اَلتَّصَرُّفُ اْلِإمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلِحَةِ
“ Kebijaksanaan Imam ( Pemimipin ) terhadap rakyatnya itu harus dihubungkan dengan kemaslahatan “.

a)      Uraian Kaidah
Kaidah ini memberikan pengertian, bahwa seorang pemimpin dalam mengambil kebijaksanaan – kebijaksanaan  terhadap sesuatu yang berhubungan dengan rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip – prinsip syari’at Islam, sehingga andaikata penguasa menetapkan seorang fasiq menjadi imam shalat pun, menurut hukum tidak dibenarkan. Untuk itulah dalam masalah terakhir ini, Al-Mawardi berkata : Meskipun shalat para makmum itu sah akan tetapi perbuatan tersebut makruh. Dan pada perbuatan yang makruh tidak ada kemaslahatan.
b)     Sumber Pengambilan
Kaidah ini menurut para ulama berdasarkan QS. Al- Baqarah : 124:
( tA$s% ÎoTÎ) y7è=Ïæ%y` Ĩ$¨Y=Ï9 $YB$tBÎ) ( tA$s% `ÏBur ÓÉL­ƒÍhèŒ ( tA$s% Ÿw ãA$uZtƒ Ïôgtã tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊËÍÈ
……Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".
Dan Sabda Nabi SAW :
كُلُّكُمْ رَاعِ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ( متفق عليه )
 “ Kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya”. ( HR. Bukhari – Muslim dari Ibnu Umar ).

6)   اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبْهَاتِ
“ Hukum – hukuman ( had ) itu bisa gugur karena syubhat ( Ketidakjelasan )”.
            Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu pertama syubhat yang berhubungan dengan pelaku ( Al –Fa’il ) yang disebabkan oleh salah sangkaan si pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang ia kira adalah harta miliknya. Kedua, syubhat karena perbedaan pendapat para ulama ( Fi-Aljihhah ) separti Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi tapi harus ada wali. Imam Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada saksi. Dan yang ketiga, syubhat karena tempat ( Fi – Almahal ) seperti Mewhothi istri yang sedang haid.
            Untuk menghindari kesyubhatan sebagaimana tersebut diatas, maka penggunaan qiyas tidak diperkenankan dalam hudud seperti kaidah berikut :
 لاَيَجُوْزُإِِثْبَات ُالْحُدُوْدِ مِن طَرِيْقِ الْقِيَاسِ وَإِنَّمَا طََرِيْقُ إِثِبَاتِهَا التَّوْقِيْفُ
“ Tidak boleh penetapan jarimah ( Tindak Pidana ) Hudud dengan cara analogi, penetapannya harus dengan nash ".
            Menurut kaidah ini, tidak boleh menyamakan tindak pidana, homo seksual, atau lesbian dengan zina meskipun keduanya diharamkan oleh hukum islam.

7)   اَلْحُرُّلَايَدْخُلُ تَحْتَ اْليَدِ
“ Orang merdeka itu tidak masuk di bawah tangan ( kekuasaan )”.
Kaidah ini maksudnya adalah bahwa bagi orang yang merdeka itu kedudukannya tidak dikuasai oleh pihak manapun, sebab ia tidak ada yang memiliki. Lain lagi dengan hamba sahaya karena ia berstatus hamba sahaya, maka dirinya kedudukannya di bawah tuannya. Dan berarti pula ia bisa dimiliki oleh tuannya.
Seperti halnya saja ada seorang perempuan yang berzina dengan budak perempuan yang merdeka, maka berdasarkan kaidah ini, laki – laki yang menzinainya tidak dapat di tuntut membayar mas kawin, karena orang yang merdeka tidak berada di bawah kekuasaan siapapun .

8)   اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمٌ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
“ Sesuatu untuk menjaga sesuatu itu hukumnya sama dengan yang dijaga “.

a)      Uraian Kaidah
Kaidah ini memberikan pengertian bahwa semua perkara baik yang dihukumi dengan wajib, halal ataupun itu telah ada batasan – batasannya. Tetapi selain itu yang syubhat yang perlu untuk dijaga agar tidak terkena kepada yang haram.
Arti dari Al – harim ini bisa diterjemahkan dengan “yang mengitari”, “ yang melingkupi “ atau “ yang ada disekitarnya”. Dari sini dapat dipahami pula bahwa daerah perbatasan itu disebut Harim, sebab tiap sesuatu itu mempunyai daerah perbatasan yang berada disekitarnya.  
b)     Dasar Pengambilan
الحلال بين والحرام بين وبينهماأمورمتشا بها ت لايعلمهن كثير من الناس فمن التقى الشبهات فقداستبر ألدينه وعرضه ومن وقع فى الشبهات وقع فى الحرام كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يقع فيه
“ Yang halal itu telah jelas dan yang haram telah jelas dan diantara keduanya adalah masalah – masalah syubhat ( tidak jelas ). Banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa yang menjaga diri dari syubhat, berarti dia telah jatuh kepada keharaman, seperti seorang pengembala yang mengembala di sekitar pagar dikhawatirkan akan melanggar ( masuk ) kedalam pagar “ ( HR. Muttafaq ‘Alaih ).

9)   اِذَااجْتَمَعَ اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ لَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْ دُ هُمَا فِى اْلَا خَرِ غَالِبًا
“ Apabila berkumpul dua perkara dari satu jenis dan tidak berbeda maksud dari keduanya, maka menurut biasanya dimasukkanlah yang satu kepada yang lain “.
Maksud dari kaidah ini adalah manakala ada dua perkara dimana maksud dari keduanya sama, maka salah satu dari kedua perkara tersebut yang dapat dimasukkan kepada yang lain. Artinya, cukup dengan mengerjakan salah satu dari dua perkara yang dapat mencakup yang lain, yaitu adanya perkara yang lebih besar, maka itu saja yang dikerjakan.
Misalnya adalah apabila berkumpul antara hadast kecil dan hadast besar ( junub ), maka di cakupkan mandi saja.


10)                إِعْمَالُ اْلكَلاَمِ اَوْلَى مِنْ اَهْمَالِهِ
       “ Mengamalkan ucapan itu lebih utama dari pada mengabaikannya “.
               Sebuah ucapan itu ada kalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas apa yang dimaksud sebenarnya dari perkataan atau ucapan itu, Terhadap sesuatu yang jelas maksudnya, maka haruslah diamalkannya sesuai dengan maksud itu. Namun, terhadap sesuatu yang belum jelas maksudnya, maka mengamalkannya lebih baik daripada meniadakannya atau mengabaikannya tetapi dengan catatan tidak adanya yang melanggar syara’.
               Seperti halnya.bagi seseorang yang sedang sakit keras, berwasiat, apabila nanti saya mati, sawah dan pekarangan rumah saya ini berikan kepada anak saya. Namun, orang ersebut hanya mempunyai cucu, karena anaknya telah meninggal, maka sawah dan tanah pekarangan rumah itu menjadi milik dari cucunya.

11)                اَلْخَرَاجُ بِاالضَّمَانِ
“ Berhak mendapatkan sesuatu ( hasil ) disebabkan karena keharusan mengganti kerugian “.
               Kaidah ini berasal dari hadist Nabi yang berbunyi “ Bahwa laki – laki menjual seorang budak, maka budak itu bermukim ditempat pembeli, dalam beberapa hari, kemudian sipembeli itu mendapatkan cacat pada budak tersebut, maka ia melaporkan kepada Nabi SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki – laki yang menjual.” Wahai Rasul ( ia pembeli ) telah mengerjakan ( mengambil manfaat ) terhadap budakku”, Rasul bersabda : “ Hak mendapatkan hasil itu disebabkan keharusan mengganti kerugian . 
               Sebagai contoh : Seseorang yang membeli sepeda motor seharga Rp. 6.000.000,- dengan syarat tidak ada cacatnya, dan bila ada yang cacat, maka boleh dikembalikan dan akan menerima uangnya kembali. Tetapi, setelah beberapa hari, baru diketahui bahwa sepeda motor itu cacat, maka sepeda motor tersebut dikembalikan kepada penjual dan penjual mengembalikan seharga tersebut diatas, maka apabila waktu itu penjual meminta ganti rugi kepada pembeli karena telah memekai sepeda motor tersebut, maka tentu saja tuntutan tersebut tidak dapat dikabulkan, karena pemanfaatan pemakaian sepeda motor tersebut sudah diimbangi dengan pemakaian uang 6 juta yang sudah dibyarkan.

12)                اَلْخُُروْجُ مِنَ اْلخِلاَفِ مُسْتَحِبٌ
       “ Keluar dari pertentangan itu di utamakan “
               Maksud dari kaidah diatas adalah agar menjauhi prasangka serta memelihara diri dari perkara – perkara yang masih syubhat yang dipertentangkan oleh para ulama dengan jalan mencari jalan keluar jangan melibatkan diri dari masalah khilafiyah.
               Secara timbal baliknya, maka oleh kaidah fikih disebutkan bahwa : “ Segala hukum berkisar sekitar kemaslahatan. Dimana saja terdapat kemaslahatan, maka ( disitu ) terdapatlah hukum ALLAH”.
               Walaupun sering kali para ulama memahami suatu hukum, para ulama berbeda pendapat tetapi perbedaan itu tidak menjadi perpecahan melainkan sebaliknya sebagai rahmat baginya. Untuk itu para ulama mengatakan bahwa perbedaan itu adalah perbedaan karena perbedaan keterangan dan alasan, Dan dipertegas pula jalan penyelesaiannya dengan “ keluar dari perselisihan itu adalah yang terbaik “. 
               Dan Syarat – syarat dalam khilafiyah adalah :
Ø  Tidak membuat khilafiyah yang baru lagi
Ø  Tidak berlawanan dengan sunnah
Ø  Mukhalifnya harus mempunyai dalil yang kuat

13)                اَلدَّفْعُ اَقْوَى مِنَ الَّرفْعِ
       “ Menolak gugatan itu lebih kuat dari pada menggugat ( menghilangkan )“.
               Seringkali dalam suatu perkara itu mengandung dua hal, yakni antara untuk menggugat atau menetapkan dengan untuk menolak atau meniadakan yang masing – masing dari keduanya mempun yai alasan yang sama kuat dan tidak data ditarjihkan dari keduanya itu, maka dalam keadaan demikian, yang harus dipilih adalah menolaknya. 

14)                اَلرُّخَصُ لاَتُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
       “ Kemurahan ( rukhshoh ) itu tidak dapat dihubungkan dengan maksiat “.
               Maksud dari kaidah ini adalah apabila ada hal kesukaran itu disebabkan karena hal – hal yang membawa kepada perbuatan maksiat atau kemungkaran, maka kesukaran ( kesempitan ) itu tidak bisa diberi kemudahan ( rukhsah ).
               Misalnya Shalat qashar, jama’ dan berbuka puasa, kesemuanya itu merupakan keringanan bagi orang yang dalam berpergian jauh. Tetapi kalau sejak awal, kepergian itu dengan niat yang tidak baik atau untuk berbuat maksiat, maka rukhsah tersebut tidak berlaku lagi.

15)                اَلرُّخَصُ بِا الشَّكِّ
       “ Kemurahan ( rukhshah ) ini tidak bisa dihubungkan dengan keragu – raguan ( syak )”.
               Kaidah di atas merupakan juga kaidah yang membatasi ruang kebolehan adanya rukhsah apabila ada kesukaran ( maqasah ). Yakni ketidakbolehan mendapatkan rukhsah apabila dihubungkan dengan sesuatu yang masih belum jelas ( samar – samar ).
               Misalnya ada seseorang yang pergi ke rumah kakeknya di sebuah kota yang jaraknya tidak begitu jauh. Atau dengan kata lain belum mencapai batas jarak yang membolehkannya menjama’ dam mengqashar shalat. Tetapi rumah kakekn ya itu tidak di dalam kota, yaitu masih masuk lagi kepedalaman. Sehingga tersebut menjadi adanya sangsi, adakah jarak antara tempat tinggalnya dengan kota tujuan semula ditambah jarak antara kota itu dengan rumah kakeknya, sudah mencapai batas diperbolehkannya menjama’ qashar ataukah belum ? Maka disebabkannya karena ada keraguan, ia tidak boleh melakukan jama’ qashar ini.

16)                اَلرِّضَابِاالشَّيْئِ رِضَابِمَا يَتَوَلَّدُمِنْهُ
         “ Rela dengan sesuatu adalah rela dengan akibat yeng terjadi dari padanya”.
               Contohnya : orang yang menggadaikan barangnya sebagai jaminan hutangnya telah mengizinkannya dengan setulus – tulusnya kepada penggadai untuk memanfaatkannya, kemudian ternyata bahwa barang yang digadaikannya itu menjadi rusak , maka sipenggadai tidak harus menanggung kerugiannya. Sebab kerusakan tersebut dari suatu perbuatan yang telah diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang.  

17)                َاَلسُّؤَالِ مُعَادٌفِى الْجَوَابِ
       ” Pertanyaan itu di ulang dengan jawaban “.
               Maksudnya kaidah ini adalah bahwa hokum dari suatu jawaban itu terletak pada soalnya. Contoh : Seorang hakim bertanya kepada seseorang, Reno!, apakah istrimu kamu ceraikan ?” Lalu ia menjawab: “ Ya “. Jawaban “ Ya “ ini sama dengan : “ Ya, istriku saya ceraikan “, sebab pertanyaan itu diulang dalam jawaban. Maka dalam keadaan ini kedudukan hukum terhadap istri sebagai wanita yang telah ditalak ( diceraikan ).
        
18)                لاَيُنْسَبُ إِلَى سَاكِتٍ قَوْلٍ
       “ Yang diam tidak dapat dianggap bicara “.
         Redaksi kaidah seperti tersebut diatas, adalah :
لاينسب إلى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة
               “ Tidaklah dapat disandarkan sesuatu perkataan kepada orang yang diam, akan tetapi sikap diam pada tempat yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan “.
               Kepada orang yang diam, suatu keputusan hokum tidak bisa diambil darinya, kecuali apabila ada qarinah – qarinah yang dadpat menguatkannya, dapat dijadikan dalil adanya suatu keterangan.
               Misalnya seorang hakim yang meminta jawaban kepada seorang terdakwa tentang tuduhan yang dilemparkan kepadanya dan dia diam saja, maka dengan diamnya ini dapat ditetapkan, bahwa ia mengingkari tuduhan itu dan kepada si penggugat diwajibkan mendatangkan bukti – bukti yang meyakinkan. 

19)                مَاكَامَ أَكْثَرُفِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً
         “ Apa yang lebih banyak dikerjakannya, tentulah lebih banyak keutamaannya ( pahalanya )”.
               Kaidah ini terbatas pada hal – hal yang merupakan kebaikan, sebab tidak mungkin pada suatu kejahatan itu akan mendapatkannya, justru sebaliknya, makin banyak perbuatannya makin banyak dosanya. Selain itu juga terbatas oleh perbuatan – perbuatan yang memenag sudah ditetapkan ( diatur ) oleh syara’ dan tidak menyalahi dari ketetatap itu.
               Contohnya adalah melaksanakan sembahyang witir dengan memisah – misahkan lebih utama daripada dengan secara bersambung, karena dengan memisah – misahkan berarti memperbanyak nilai takbir dan salam. Kaidah ini bermula dari sabda Rasulullah SAW, kepada beliau Aisyah ra. Yang berbunyi : “ Pahalamu itu didasarkan atas kadar kelelahanmu”. ( HR. Muslim).

20)                اَلْمُتَعَدِّى اَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ
       “ Perbuatan yang mencakup kepentingan ornag lain lebih utama dari pada yang hanya terbatas untuk kepentingan sendiri “.
               Maksudnya kaidah diatas adalah bahwa suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada orang lain yang dapat mencakup kepada ornag lain, yakni dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain yakni berupa ilmu. 
21)                اَلْفَرْضُ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ
         “ Fardhu itu lebih utama daripada Sunnah “.
         Kaidah ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :
               “ Tidaklah seorang hambaku bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada-Ku yang lebih aku sukai, kecuali melaksanakan apa yang telah aku fardhukan kepadanya, dan tidak henti – hentinya hamba-Ku mendekatkan diri pada-Ku dengan melaksanakan ibadah – ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya “.( HR. Bukhari dari Abu Hurairah ).
               Contohnya adalah : Seseorang yang masih mempunyai tanggungan mengqadha puasa Ramadhan, kemudian ia melakukan puasa bulan Syawal dengan niatan puasa sunnah, maka yang lebih utama dan lebih baik adalah melaksanakan qadhapuasa bulan Ramadhan terlebih dahulu daripada puasa Syawalnya, sebab yang lebih penting adalah mengqadha puasa yang wajib ( puasa Ramadhan )”.

22)                اَلْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِدَاتِ الْعِبَادَةِ اَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمِكَانِهَا
         “ Keutamaan yang dipautkan dengan ibadah sendiri lebih baik daripada yang dipautkan dengan tempatnya”.
               Menurut Pensyarah kitab Al-Muhadzdzab berkata: “ Dijelaskan oleh golongan kami ( Syafi’iyah ), kakidah ini sangant penting dan hal ini difahamkan dari ulama -  ulama yang terdahulu”.Misalnya adalah Shalat fardhu dimasjid lebih utama daripada di luar masjid, shalat berjamaah lebih utama daripada shalat di masjid sendirian.

23)                اَلْوَاجِبُ لاَيُتْرَكُ إِلاَلِوَاجِبِ
       “ Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu yang wajib”.
               Misalnya adalah : hokum memotong tangan dalam pidana pencurian itu adalah wajib ( QS. Al- Maidah ). Sebab seandainya saja tidak diwajibkan, niscaya melakukan memotong tangan itu diharamkan karena perbuatan itu merupakan tindak pidana melukaki anggota tubuh[3].
               Kaidah – kaidah cabangnya adalah :
§        الواجب لايترك لسنة
“ Sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan karena sunnah “.
§        ماكان ممنوعا اذاجازوا جب
“ Sesuatu yang dilarang, tatkala diperbolehkan, maka menjadi wajib “.
§        مالابدمنه لايترك الا لما لابد منه
“ Sesuatu yang menjadi keharusan, tidak boleh ditinggalkan, kecuali karena sesuatu keharusan “.

24)                مَااَوْجَبَا اَعْظَمَ اْلاَمْرَيْنِ بِخُصُوْصِهِ لاَيُوْجِبَ اَهْوَ نَهُمَابِعُمُوْمِهِ
         “ Sesuatu yang diwajibkan yang lebih besar dari dua perkara, Karena kekhususannya, tiadalah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya karena keumumannya”.
               Maksud dari kaidah ini adalah adanya dua perkara yang saling berlainan dalam melahirkan suatu hukum. Yang satu merupakan perkara – perkara yang umum, akan melahirkan hukum yang lebih ringan, sedangkan perkara yang lainnya bersifat khusus akan melahirkan hukum yang lebih berat bila dibanding yang pertama.
               Misalnya memasuki rumah – rumah orang lain tanpa izin, dilarang dan dapat dituntut, walaupun hukumnya ringan. Tetapi apabila orang yang memasuki rumah itu kemudian mencuri, maka yang dituntut untuk mendapat hukuman hanyalah dalam hal mencurinya saja. Sedangkan masuknya kerumah orang lain tanpa izin, tidaklah dituntut. Karena memasuki rumah tanpa izin bersifat umum dan hukumannya relative lebih ringan, tetapi apabila untuk mencuri, berarti sudah bersifat khusus dan hukumannya relative lebih berat[4].

25)                مَاثَبَتَ بِاالشَّرْعِ مُقَدّمٌ عَلَى مَاوَجَبَ بِالشَّرْطِ
         “ Apa yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan dari pada wajib menurut syara’ “ .
               Maksudnya disini adalah semua ketetapan yang ada dalam syara’ itu harus diutamakan daripada Undang – Undang yang dibuat oleh manusia. Misalnya seorang bernazar apabila ia sukses dalam ujiannya, maka ia akan mengerjakan shalat shubuh. Bernadzar seperti ini tidak diperkenankan, sebab mengerjakan shalat shubuh itu merupakan suatu kewajiban yang memang harus dikerjakan, dalam hal ini adalah ketentuan dari syara’, yang diutamakan bukan mengerjakan karena terpenihi syarat – syarat yang ia buat.

26)                مَاحُرِمَ اسْتِعْمَالُهُ حُرِمَ اتِّخَاذُهُ
       “ Apa yang haram digunakan, haram pula didapatkannya” .
         Contohnya membuat, membawakan, dan membeli khamr dilarang ( diharamkan ), sebab khamr bila digunakan ( diminum ) haram hukumnya.

27)                مَاحُرِمَ أَخْذُهُ حُرِمَ إِعْطَاؤُهُ
       “ Apa yang diambilnya haram, di haramkan pula untuk diberikannya”.
         Kaidah ini berdasarkan pada firman Allah SWT Al- Maidah : 2;
         ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 ÇËÈ
Artinya : “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
               Dari kaidah tersebut dapat kita pahami bahwa mengambil sesuatu yang diharamkan, lalu hasilnya kita berikan kepada orang lain itu dapat diibaratkan bersekutu dengannya. Seperti contohnya diharamkannya memberikan uang hasil perjudian, uang hasil suap dan segala perbuatan yang fasiq.

28)                اَلْمَشْغُوْلُ لاَيَشْغَلُ
       “ Sesuatu yang dijadikan objek perbuatan tertentu, tidak boleh dijadikan objek tertentu yang lain “.
               Terhadap sesuatu yang sedang dijadikan objek dari suatu akad, tidak boleh dijadikan objek dari suatu akad yang lain, karena ia telah terikat dengan akad yang pertama .
               Contoh : Membeli barang – babrang yang sudah dibeli oleh orang, kemudian dijual kepada ornag yang lainnya, Meminang perempuan yang sudah menjadi pinangan dari laki – laki lain.

29)                اَلْمُكَبََّرُلاَيُكَبَّرُ
         “ Yang sudah dibesarkan, tidak dibesarkan ( lagi )”.
               Contohnya : Membasuh sesuatu dari kotoran atau najis disunnhakan mengulang – ngulang tiga kali. Namun, apabila kotaran atau najis itu adalah najis ( jilatan ) anjing, maka tidak disunnahkan lagi mengulangi tiga kali, sebab suah diperbesarkan dengan diharuskan mengulangi tujuh kali dengan air pertama hendaknya dicampur dengan debu.

30)                مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًاقَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
         “ Barang siapa yang tergesa – gesa terhadap sesuatu yang belum waktunya, akibatnya ( ia ) menanggung dengan tidak memperoleh sesuatu itu”.
               Maksudnya disini adalah ini merupakan suatu kaidah yang tergolong dalam lingkup Siyasah Syari’ah dalam mencegah sebuah kejahatan atau sebagai penutup jalan bagi kemungkinan terjadinya suatu kejahatan, Contoh : Bahwa arak yang ada dalam botol apabila didiamkan saja, maka beberapa hari kemudian akan menjadi cuka dengan sendirinya dan hukumnya suci. Namun, apabila orang tergesa – gesa ingin mendapatkan cuka, kemudian arak itu dimasuki benda kerikil ( misalnya ) meskipun seandainya arak itu bisa menjadi cuka, maka tetap saja najis hukumnya.

31)                اَلنَّفْلُ أَوْسَعُ مِنَ اْلفَرْضِ
          “ Sunnah lebih luas daripada fardhu “.
               Misalnya menjalankan puasa sunnah boleh diniati dipagi hari, namun puasa fardhu harus diniati sejak malam harinya. Namun, perlu juga diperhatikan, kadang – kadang ada sunnah yang lebih sempit daripada fardhu, misalnya adalah Tayamum hanya boleh dilakukan karena akan menjalankan shalat fardhu, tetapi tidak boleh dilakukan untuk mengerjakan shalat sunnah.

32)                اَلْوِلاَيَةُالْخَاصَّةُ اَقْوَى مِنَ الْوَلاَيَةِ اْلعَامَّةِ
         “ Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang umum “.
               Contoh yang memiliki kekuasaan khusus umpamanya seperti kakek dan bapak, sedangkan yang mempunyai wilayah umum misalnya hakim. Jadi, selama bapak atau kakek masih ada, hakim tidak dapat bertindak sebagai wali nikah, kecuali seizin mereka.
               Tingkatan kekuasaan, ada empat , yaitu ( 1 ) Wilayah karena hubungan kekerabatan, seperti bapak atau kakek, ( 2 ) Wilayah wakil, yakni kekuasaan karena menjadi wakil. Wilayahnya ditetapkan oleh Muwakkil ( yang mewakilkan ), ( 3 ) Wilayah Washiy, yaitu menjadi wali, karena menerima wasiat, ( 4 ) Wilayah wakaf .

33)                لاَعِبْرَةَ بِالظِّنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُهُ
         “ Tidak dapat diterima sesuatu yang didasarkan pada dhan ( sangkaan ) yang jelas salahnya “.
               Maksud kaidah ini adalah bahwa segala keputusan hokum yang didasarkan pada dhan ( sangkaan )yang sudah jelas – jelas salahnya, maka tidak dapat dijadikan dasar sebabgai pelaksanaan atau tidak boleh dikerjakan.
               Contohnya adalah : seseorang yang menduga keras, bahwa shalat itu sudah masuk dhuhur, maka ia kemudian melaksanakan shalat dhuhur. Sesudah selesai mengerjakan shalat dhuhur, ternyata dugaannya keliru, maka shalat yang baru saja dikerjakannya tidak sah

34)                اَلْاِشْتِغَاِل بِغَيْرِالْمَقْصُوْدِ إِعْرَضُ عَنِ الْمَقْصُوْدِ
         “ Berbuat yang tidak dimaksud berarti berpaliang dari yang dimamksud “.
               Kaidah ini merupakan cabang daripada kaidah الاموربمقاصدها  atau merupakan penjelasan bagi kaidah tersebut.Menurut kaidah itu, bahwa suatu perbuatan yang dikerjakan tanpa suatu maksud tetrtentu, maka terhadapnya ( perbuatannya ) itu tidak dapat dihukumkan kepada maksud tertentu.
               Contohnya : ada seseorang bersumpah: “ Demi Allah saya tidak akan menetap dan diam di rumah ini”. Mestinya ia harus segera keluar dari rumah itu, sebab yang menjadi maksud ucapannya adalah “ keluar “ ( rumah ). Apabila ia tidak segera keluar dari rumah itu, maka ia telah berpaling dari maksud dan menurut hokum, dan ia dianggap telah melanggar sumpah.

35)                لاَيُنْكَرُالْمُخْتَلَفَ فِيْهِ وَاِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
       “ Masalah yang masih diperselisihkan, tidak diingkari, sedangkan yang diingkari adalah yang telah disepakati “.
               Maksud disini adalah bahwa segala masalah yang telah menjadi kesepakatan atau tidak ada ikhtilaf didalamnya, tentang sesuatu hokum haram.Misalnya, maka harus kita jauhi benar – benar. Sedangkan masalah yang masih ikhtilaf kita tidak wajib ingkar kepadanya.
               Misalnya : Terhadap orang yang minum arak ( khamr ) atau bberzina, kita wajib ingkar, tetapi terhadap orang yang menyemir rambutnya, kita wajib tidak ingkar, sebab masalah ini masih terdapat perselisihan.

36)                يَدْخُلُ الْقَوِيُّ عَلَى الضَّعِيْفِ وَلاَ عَكْسِ
         “ Yang kuat dapat mencakup yang lemah, dan bukan sebaliknya “.
               Maksudnya : setiap tuntutan, baik tuntutan mengerjakan ataupun tuntutan meninggalkan, maka tuntutan yang kuat itu sebenarnya telah mencakup atas tuntutan yang lebih lemah, dan tuntutan yang lebih lemah tidak mencakup tuntutan yang lebih kuat.
               Misalnya : Seorang laki – laki telah menggauli budak perempuan, kemudian ia kawin dengan saudara perempuan jariyah tersebut, Menurut hokum jariyah tersebut tidak boleh lagi digaulinya, karena hubungannya dengan saudara jariyah itu lebih kuat, yaitu ikatan perkawinan. Dengan demikian juga boleh menjalankan ibadah haji sekaligus ‘Umrah, namun tidak boleh melakukan ‘Umrah sekaligus Haji.

37)                يُغْتَفَرُ فِى الْوَسَائِلِ مَالاَيُغْتَفَرُ فِى الْمَقَاصِدِ
         “ Dapat dilampaui ( sesuatu  yang pada waktu ) manjadi sarana, namun tidak dapat diampuni sesuatu yang ketika itu menjadi tujuan “.
               Secara jelas maksud kaidah ini, bahwa segala sesuatu yang pada waktu atau berkedudukan sebagai saran untuk mencapai sebuah tujuan, maka dapat dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau mennguranginya. Namun, ketika hal itu menjadi tujuan, maka baginya tidak ada kelonggaran dan harus dipenuhi.
               Misal : Seorang dokter boleh melukai atau membedah tubuh pasiennya apabila hal itu sebagai washilah ( perantaraan ) penyembuhan penyakitbagi pasien. Tetapi apabila ada maksud lain yang tidak baik, maka itu tidak dibolehkan ( diharamkan ).

38)                اَلْمَيْسُوْرُ لاَيَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
       “ Sesuatu perbuatan yang mudah dikerjakan tidak digugurkan sebab adanya perbuatan yang sukar untuk dijalankan”.
         Menurut Ibn As- Subky, kkaidah ini diambil dari Hadist Nabi SAW :
اِذَأَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاءْ تُوْمِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ
         “ Manakala kuperintahkan kalian dengan suatu perkara, maka laksanakanlah sebisa kalian “.
               Kaidah ini sangat sejalan dengan prinsip – prinsip Islam terutama dalam Al- Qur’an maupun dalam Hadist yang menyatakan setiap pelaksanaan syara’ hendaklah dikerjakan menurut kemampuan si Mukallaf. Tidaklah apa yang mudah dilaksanankan itu akan menjadi gugur dengan sesuatu yang benar – benar sukar untuk mencapainya, atau dengan pendek kata apa yang dapat dicapai menurut batas maksimal kemampuannya dipandang sebagai perbuatan hukum yang sah.
               Contohnya : Orang yang baru bisa membaca AL- Fatihah separuh, dalam shalat haruslah membaca apa yang dia bisa. Begitu juga orang yang hanya memiliki satu tangan, maka dalam wudhu ia harus membasuh apa adanya, yaitu satu lengan yang dimilikinya.

39)                مَالاَيَقْبَلُ التَّبْعِيْضَ فَاخْتِيَارُبَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِّهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِ سْقَاطِ كُلِّهِ
       Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagian ( hukumnya ) sama dengan mengusahakan keseluruhan, demikian juga menggugurkan sebagian berarti menggugurkan pula keseluruhan “.
               Maksud dari kaidah ini adalah bahwa segala perbuatan atau pelaksanaan sesuatu yang memang tidak dapat dibagi – bagi, maka dalam pelaksanaannya pun harus menyeluruh, tidak hanya sepotong – potong saja. Begitu juga sebaliknya, Jika mengugurkan sebagian, mak menggugurkan semuanya.
               Contoh : “ Engkau kucerai separuh “. Karena thalak itu tidak bisa dibagi, maka menurut hukum islam, thalaqnya jatuh satu. Memilih sebagian sama dengan memilih seluruhnya”.
40)                اِذَااجْتَمَعَ السَّبَبُ اَوِالْغُرُوْرُوَالْمُبَا شَرَةُ قُدِّمَتْ   اَلْمُبَاشَرَةُ                        
Apabila berkumpul antara sebab, kicuhan ( tipuan ) dan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan “.
Maksud kaidah ini : suatu kasus itu terdapat tiga factor : ( 1 ) Merupakan sebab terjadinya kasus, ( 2 ) Berwujudnya penipuan yang membantu terjadinya kasus, ( 3 ) Perbuatan langsung yang mengakibatkan kasus, maka yang pertama kali dimintai pertanggungjawaban adalah perbuatan yang langsung menimbulkan kasus.
Contoh : Ahmad menjual sebilah pisau kepada budi, kemudian oleh Budi pisau itu digunakan membunuh. Dalam contoh ini, yang terkena tuntutan ( hukuman ) adalah Budi, sebab dialah pelaksana pembunuhan, meskipun yang menjadi sebab dia dapat membunuh adalah Ahmad yang menjual pisau kepadanya. Untuk contoh ini Ahmad tidak bisa dituntut sebab ia adalah pedagang biasa, namun bila ia memang pedagang pisau untuk pembunuhan juga bisa dituntut.





[1] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyyah, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), cet. 1, h. 105

[2] H. Djazuli, Kaidah – kaidah Fikih , (Jakarta : Kencana, 2007 ), C. 2, h. 92
[3] Selain itu, seperti halnya diharamkan kepada kita tentang mebelah perut. Sebab perut itu wajib dijaga jangan sampai terbedah. 
[4] Firman Allah SWT : Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya ( sebagai ) pembalasan apa ynag mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”.