HADIS TENTANG SUAP MENYUAP
A. Hadist
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : لعن رسول الله صلي الله
عليه وسلم الراشي و المرتشي في الحكم. رواه الخمسة, و حسنه الترمذي وصححه ابن
حبان.
Artinya :”Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu
berkata, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap dalam perkara
peradilan.”(HR. Ahmad dan
Al-Arba’ah serta dihasankan oleh At-Tarmizi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
B. Mufradat :
Ar-Rasyi : orang yang memberikan uang suap
Murtasyi : orang yang menerima uang suap
C. sanad hadist:
Hadist ini diriwayatkan oleh imam yang
lima dan hasan oleh tirmidzi dan di shahihkan oleh ibnu hibban, dalam kitab
pemutusan perkara dan hukum-hukum pengadilan, bab larangan suap menyuap.
D. Syarah Hadist
Hadist ini menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap (dalam Kitab
An-Nihayah tertera ar-Rasyi artinya orang yang memberikan uang suap agar
si hakim menolongnya untuk suatu perbuatan batil dan murtasyi artinya
orang yang menerima uang suap tersebut) dalam perkara peradilan”. Dalam
kitab an-Nihayah terdapat tambahan ar-raisyi artinya perantara antara
yang menyuap dan yang menerima suap. Walau si perentara melakukannya dengan
suka rela, ia tetap mendapat laknat sebagaimana yang tercantum dalam hadis dan
jika ia melakukan hal itu dengan mengambil upah maka laknatnya lebih besar lagi.
Uang
suap hukumnya haram menurut kesepakatan para ulama, baik terhadap seorang hakim
maupun terhadap seorang petugas pengumpul zakat dan lain-lain. Allah Ta’ala
berfirman :
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Artinya: Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Harta
yang diterima seorang hakim ada empat macam : uang suap, hadiah, upah dan
rezeki yang lain. Dinamakan “uang suap” apabila uang yang diberikan kepada
hakim dimaksudkan agar hakim memutuskan hukum dengan cara yang tidak hak. Maka,
uang ini hukumnya haram baik bagi orang yang memberi maupun yang menerimanya.
Jika uang suap diberikan kepada hakim agar pemberi suap tersebut mendapatkan
haknya kembali, maka hakim mendapat dosa jika menerima uang suap itu, sementara
si pemberi suap tidak, karena yang ia ambil adalah haknya sendiri. Ada juga
yang berpendapat bahwa si pemberi suap juga berdosa karena ia telah
menjerumuskan si hakim dalam perbuatan dosa.
Islam sebagai agama yang sempurna (syamil)
sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap
sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap dalam Islam disebut
juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi
Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha
memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri
berasal dari الرِشاء yang berarti Tali yang menyampaikan timba ke air. Jadi,
ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain)
kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau
menangguhkannya dengan cara yang bathil. Dengan cara bathil inilah sebuah
ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah
mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
Kalau
dicermati, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan
seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap, tetapi juga diharamkan
melakukan hal-hal yang bisa membuat suap-menyuap itu berjalan. Maka yang
diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta suap-menyuap,
melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu: penerima suap, pemberi suap, dan
mediator suap-menyuap.
Sebab
tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap,
kalau tidak ada yang menyuapnya. Maka orang yang
melakukan suap-menyuap pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. Sebab
karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta
suap-menyuap. Dan biasanya dalam kasus suap-menyuap seperti itu, ada pihak yang
menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.
E. Pendapat Paraulama Tentang Hukum Risywah
Para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap
permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia
berkata,
فأما
الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف
“Adapun
suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram
–tidak diragukan lagi-.
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan,
”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri, yaitu orang yang diberikan tanggung
jawab atas suatu urusan untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini
adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini
adalah suap yang dilarang Nabi saw.”
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata:
قال
الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع
“Ibnu Ruslan
berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang
hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya
sesuai Ijma’.
ash-Shan’aniy
dalam Subulussalam
والرشوة
حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها
إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan
suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para
pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
[QS. Al-Baqarah: 188].”
Imam al Qurthubi mengatakan bahwa barangsiapa yang
mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka
sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk
memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan
kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.